Pedagang Thrifting Desak Pemerintah Berikan Kuota Impor Bukan Larangan Total, Janji Siap Bayar Pajak
--
OTONITY.com – Thrifting menjadi salah satu hal yang sedang ramai dibicarakan di media sosial belakangan. Hal tersebut dikarenakan Menteri Purbaya melakukan pemberantasan barang masuk ke Indonesia yang ilegal termasuk yang digunakan dalam thrifting tersebut. Berikut ulasan lengkapnya!
Melansir dari berbagai sumber, pada Rabu (19/11/2025), ratusan pedagang thrifting telah mendatangi Gedung DPR RI untuk menyampaikan aspirasi dan jeritan mereka yang terdampak kebijakan pelarangan thrifting. Dalam rapat bersama Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI tersebut, pedagang mengeluhkan penurunan penjualan, razia aparat, hingga kebijakan pemblokiran akun media sosial yang membuat usaha mereka semakin terpuruk.
Aspirasi tersebutdisampaikan langsung oleh Rifai Silalahi, perwakilan pedagang thrifting.
“Kami ini sudah puluhan tahun hidup dari thrifting. Ada sekitar 7,5 juta orang yang bergantung pada usaha ini. Kalau dimatikan, bagaimana nasib kami?” kata Rifai di depan pimpinan BAM DPR.
Read more: Profil dan Biodata Shin Min Ah, Siap Menikahi dengan Kim Woo Bin Usai 10 Tahun Pacaran
Menurut Rifai, bisnis thrifting bukan sekadar perdagangan barang bekas. Di banyak daerah, usaha ini sudah diwariskan lintas generasi dan menjadi sumber penghasilan utama keluarga. Dia menyebut selama larangan berlaku, pedagang justru terjebak pada praktik ilegal yang melibatkan oknum tertentu. Setiap kontainer, ujarnya, bisa dipungut hingga Rp 550 juta agar bisa lolos melalui jalur tidak resmi.
Wakil Ketua BAM DPR, Adian Napitupulu, menyambut aspirasi tersebut dengan menekankan pentingnya kajian menyeluruh sebelum pemerintah mengambil keputusan. Dia memaparkan data riset global yang menunjukkan bahwa 67% generasi milenial dan Gen Z memilih thrifting bukan karena sekadar harga murah, melainkan karena pertimbangan lingkungan hidup.
Selain tren dalam negeri, Adian juga mengingatkan bahwa impor thrifting bukan hal asing di dunia. Adian pun menekankan bahwa keputusan pemerintah nantinya harus mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan keberlanjutan lingkungan secara seimbang.